Fungsi agama dalam masyarakat
A. Peran Agama dalam Masyarakat
Mungkin
tidak semua dari kita sadar bahwa lingkungan kita semakin tidak nyaman, baik
secara lahiriyah apalagi
secara batiniyah, karena
berbagai kerusakan yang muncul dan terus bertambah seiring dengan perjalanan
waktu. Kerusakan moral individu dan kemudian bertransformasi menjadi kerusakan
moral massal. Kita akrab dengan berita kekerasan di berbagai institusi, mulai
dari institusi non-formal seperti keluarga sampai pada institusi formal seperti
institusi pendidikan. Korupsi dan tindakan koruptif juga mengakar dan mendarah
daging baik di institusi pemerintah maupun swasta. Pergaulan bebas menjadi
kebanggaan, seks
bebas menjadi kebiasaan, aborsi menjadi hal yang normal, tindakan asusila
menjadi susila dan perusakan lingkungan menjadi lumrah. Padahal kita hidup
dalam suatu negara yang diklaim sebagai negara hukum dan negara berpenduduk
muslim terbesar di dunia, hidup dalam masyarakat yang menglaim dirinya sebagai
masyarakat bermoral, religius, beradab dan klaim-klaim yang sangat menyejukkan
hati dan menenteramkan jiwa bila didengar. Apakah predikat-pridikat ini hanya
sekedar “kulit” yang “membungkus” masyarakat saja. Lalu di mana agama yang
secara tertulis menjadi identitas kita? Mengapa ia tidak berdaya mengendalikan
segala kerusakan yang ada di lingkungan masyarakat? Atau ajaran agama telah
dimanipulasi untuk menjustifikasi tindakan-tindakan destruktif?
Dalam
hal ini, ada empat kelompok manusia, yaitu pertama, orang
yang “lari” dari ajaran agama; kedua, orang
yang memahami agama dan menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi atau
kelompok; ketiga, orang
yang memahami agama dan menjalankannya untuk memperoleh keshalihan individu; keempat, orang yang
memahami agama dan mentransformasikannya, baik dalam kehidupan pribadi maupun
sosial bermasyarakat.
Pertama, orang
yang “lari” dari ajaran agama. Orang-orang seperti ini pada dasarnya tahu
ajaran agama, namun mereka merasa agama hanya mengekang kebebasan individu
untuk berekspresi dan tidak membawa keberuntungan. Orang-orang seperti ini pada
umumnya tidak lagi menggubris ajaran agama sehingga apabila teks-teks agama
digunakan untuk mengajak mengerjakan atau meninggalkan sesuatu tidak akan lagi
mempan. Dan bahkan mungkin mereka sudah tidak takut neraka dan tidak tertarik
dengan surga yang dijanjikan oleh Allah SWT.
Mereka
cenderung mengutamakan akal dalam menimbang untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Dengan pertimbangan akal ini maka yang akan muncul adalah
pemikiran pragmatis yang hanya memandang keuntungan dan kerugian yang praktis
dan cepat. Artinya mereka mau melakukan atau meninggalkan sesuatu kalau hal itu
akan mendatangkan keuntungan. Lalu apakah menggunakan akal untuk
mempertimbangkan sesuatu adalah tindakan yang salah? Tidak. Menggunakan
pertimbangan akal dalam memandang setiap persoalan bukanlah suatu kesalahan.
Bahkan menggunakan akal hukumnya wajib bagi yang berakal. Yang menjadi
pertanyaan adalah sejauhmana manusia dapat melepaskan akalnya dari lingkaran
hawa nafsu ketika menggunakannya untuk mempertimbangkan masalah? Harus diakui,
akal mempunyai kecenderungan positif dan negatif. Dan hanya sedikit orang yang
mampu membersihkan akalnya dari motif-motif negatif.
Kedua, kelompok
yang memahami agama dan menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi atau
kelompok. Kelompok ini tahu dan mengerti bahwa ajaran agama menunjukkan dan
mengajak manusia pada jalan kebenaran. Apabila pertunjukan itu dilaksanakan maka
manusia akan dapat menjalani hidup dengan penuh ketenangan dan ketenteraman,
baik secara individu maupun sosial.
Melihat
kelompok ini mungkin kita berfikir tentang kelemahan peran agama dalam melarang
manusia dari tindakan-tindakan negatif dan menggiring mereka kearah yang lebih
baik. Pada dasarnya bukanlah agama itu sendiri yang salah atau lemah, akan
tetapi mereka menyalahgunakan ajaran agama yang mereka pahami. Namun, sering
sebenarnya pemahaman agama mereka lemah dan salah sehingga tidak dapat menjangkau
apa sebenarnya dikehendaki oleh agama. Parahnya lagi mereka sering tidak
menyadari kelemahan itu dan dengan kepercayaan diri yang tinggi malah
menggunakan tameng agama untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya dilarang oleh
agama dan mereduksi ajaran agama itu sendiri.
Kelompok
ini secara kasat mata pandai dan mengerti ajaran agama, namun tindakan mereka
tidak mencerminkan ajaran agama yang dia anut. Melakukan tindakan yang
meresahkan atau bahkan merugikan dan mendhalimi masyarakat . Meskipun demikian,
ia masih merasa benar dengan tindakannya itu dan menjustifikasinya dengan
dalil-dalil atau teks agama. Mereka mengingkari bahwa pada dasarnya agama sama
sekali tidak punya kepentingan dalam visi dan misinya dalam kehidupan makhluk
di dunia ini kecuali untuk membuat suatu tatanan demi kebaikan makhluk itu
sendiri.
Ketiga, kelompok
yang memahami agama dan menjalankannya untuk memperoleh keshalihan individu.
Banyak orang yang memahami dan menjalankan agama, namun hanya untuk dirinya
sendiri. Orang seperti ini rajin dan konsisten (istiqomah) menjalankan
ibadah-ibadah mahdhah. Akan
tetapi orientasi ibadahnya hanya berorientasi pada keselamatan dirinya sendiri
tanpa mempedulikan orang lain dan lingkungannya. Secara individu orang seperti
ini memang cukup shalih, namun secara sosial ia belum pantas disebut seorang
yang shalih.
Keempat, orang yang
memahami dan mengamalkan ajaran agama, dan mentransformasikannya dalam
kehidupan sosial bermasyarakat. Orang seperti ini memahami agama sebagai
perangkat untuk membentuk keshalihan pribadi dan sekaligus untuk membentuk
keshalihan sosial, demi terciptanya masyarakat yang bermoral. Memang,
keshalihan spiritual pribadi saja tidak cukup untuk menciptakan masyarakat yang
aman, nyaman, tenteram, adil menyenangkan. Kashalihan pribadi harus
ditransformasikan dalam kehidupan bermasyarakat dalam bentuk ibadah-ibdah
sosial. Sayangnya kelompok ini hanya sedikit di lingkungan kita, sehingga
kerusakan moral dan kerusakan lingkungan masih berkembang dan bertambah seiring
dengan perjalanan waktu.
Transformasi
ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat bisa dikatakan sebagai proses
refleksi memahami wahyu paling dalam, the
depth hermeneutics, yang harus berjalan secara dialogis
untuk menghasilkan aksi. Tujuan akhir dari transfomasi ajaran agama ini adalah
praksis-sosial ekonomi, sebuah perubahan nyata yang secara sosial ekonomi
terjadi pada masyarakat sehari-hari. Masalah kaum mustadh’afin, soal
minoritas, seharusnya dilihat sebagai bagian dari suatu konsep praktis.
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa kerusakan yang masih terus berlangsung di sekitar kita
bukanlah “kegagalan” agama dalam membangun masyarakat yang bermoral. Namun yang
terjadi adalah kegagalan dalam memahami agama dan mentransformasikannya dalam
kehidupan sosial bermasyarakat. Agama hanya dipahami sebagai aturan-aturan
legal formal yang menyediakan pahala dan dosa, ganjaran dan hukuman, surga dan
neraka, yang kesemuanya bersifat abstrak. Selain mengandung aturan legal
formal, agama mempunyai perangkat ideal moral yang pada dasarnya menjadi inti
ajaran agama. Untuk menciptakan masyarakat yang bermoral kedua komponen ini
harus diimplementasikan dalam kehidupan individu dan bermasyarakat.
Dalam kehidupan
bermasyarakat, agama memegang peranan yang besar dan sangat penting. Keberadaan
agama di tengah-tengah masyarakat tidak dapat diabaikan. Agama mengatur tentang
bagaimana membentuk masyarakat yang madani. Agama juga yang mampu menciptakan
kerukunan dalam kultur masyarakat yang majemuk. Seperti yang kita semua ketahui
bahwa tidaklah mudah untuk hidup dalam perbedaan. Setiap perbedaan, utamanya
perbedaan pendapat yang ada di masyarakat dapat memicu timbulnya perselisihan.
Di sinilah posisi agama memainkan perannya yang penting sebagai penegak hukum
dan menjaga agar masyarakat saling menghormati dan tunduk pada hukum yang
berlaku.
Jika dalam masyarakat
agama sudah tidak dianggap memegang peran yang penting, dapat dipastikan
kehidupan sosial masyarakat tersebut akan mengalami dekadensi moral dan
kekacauan yang nantinya bakal meluas ke lingkup yang lebih luas, yakni bangsa
dan negara. Dan ini merupakan ciri dari akan hancurnya dunia! Yah, kiamat sudah
dekat jika agama telah hilang dari sendi-sendi kehidupan.
Agama memainkan perannya
yang sentral dalam hal kultur maupun kehidupan sosial kemasyarakatannya melalui
nilai-nilai luhur yang diajarkannya. Diantara sekian banyak nilai-nilai yang
terdapat dalam agama tersebut, nilai luhur yang paling banyak dan paling
relevan dengan sosial kemasyarakatan adalah nilai spiritual yang tetap menjaga
agar masyarakat tetap konsisten dalam menjaga stabilitas lingkungan, serta
nilai kemanusiaan yang mengajarkan manusia agar dapat saling mengerti satu sama
lain, serta dapat saling bertenggang rasa. Saling memahami antar masyarakat
merupakan langkah awal yang bagus untuk membentuk masyarakat yang madani.
1. Nilai Spiritual
Setiap orang mempunyai
kebutuhan fundamental sesuai dengan fitrahnya yang meniliki jasmani dan rohani,
dan apabila dikaitkan dengan berbagai ragam hubungan manusia dalam
kehidupannya, di setiap hubungan tersebut ada hubungan antara manusia dengan
Tuhan, manusia dengan alam, manusia dengan manusia lain/masyarakat, dan manusia
dengan dirinya sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan rohaninya manusia melaksanakan
nilai spiritual dalam kehidupannya.
Nilai spiritual memiliki
hubungan dengan sesuatu yang dianggap mempunyai kekuatan sakral suci dan agung.
Karena itu termasuk nilai kerohanian, yang terletak dalam hati (bukan arti
fisik), hati batiniyah mengatur psikis. Hati adalah hakekat spiritual batiniah,
inspirasi, kreativitas dan belas kasih. Mata dan telinga hati merasakan lebih
dalam realitas-realitas batiniah yang tersembunyi di balik dunia material yang
kompleks. Itulah pengetahuan spiritual. Pemahaman spiritual adalah cahaya Tuhan
ke dalam hati, bagaikan lampu yang membantu kita untuk melihat (Robert Frager
2002: 70).
Bila dilihat tinggi
rendahnya nilai-nilai yang ada, nilai spiritual merupakan nilai yang tertinggi
dan bersifat mutlak karena bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa (Notonagoro,
1980). Dalam kehidupan sosial-budaya keterikatan seseorang dihubungkan dengan
pandangan hidup suatu masyarakat atau kehidupan beragama. Setiap orang akan
selalu memiliki kekuatan yang melebihi manusia, dalam pandangan orang beragama
disebut sebagai Yang Maha Kuasa, Allah, Sang Hyang Widi, Tuhan, God, Dewa, Yang
Maha Pencipta, dan sebagainya. Manusia sangat tergantung dan hormat pada
kekuatan yang ada di luar dirinya, bahkan memujanya untuk melindungi dirinya
dan bila perlu rela mengorbankan apa saja harta, jiwa/nyawa sebagai bukti
kepatuhan dan ketundukan terhadap yang memiliki kekuatan tersebut.
Begitu kuatnya keyakinan
terhadap kekuatan spiritual sehingga ia dianggapa sebagai kendali dalam memilih
kehidupan yang baik dan atau yang buruk. Bahkan menjadi penuntun bagi seseorang
dalam melaksanakan perilaku dan sifat dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
2. Nilai Kemanusiaan
Dalam menjalani
kehidupannya, manusia dihadapkan pada berbagai macam permasalahan hidup yang
merupakan hakekat dari kehidupan itu sendiri. Selama manusia itu hidup maka permasalahan
hidup ini tidak akan pernah lepas dari kehidupannya.
Yang dimaksudkan dengan
permasalahan hidup di sini adalah segala sesuatu yang perlu diatasi ataupun
suatu kebutuhan yang harus dipenuhi. Berikut ini adalah beberapa permasalahan
hidup manusia yang bersifat universal, yaitu dimanapun manusia itu ada maka
permasalahan hidup ini sksn selalu ada. Bagaimana cara menusia itu mengatasi
permasalahan tersebut, misalnya dengan mengambil hikmah, atau upaya yang
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya itu, akan menunjukkan kualitas dari
diri manusia sebagai sisi nilai kemanusiaanya.
2.1.Cinta Kasih
Cinta kasih merupakan
sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Setiap
manusia/orang membutuhkan untuk mencintai dan dicintai, sebagai kebutuhan yang
fundamental. Apabila dikaitkan dengan berbagai ragam hubungan manusia dalam
kehidupannya, disetiap hubungan terdapat aspek cinta. Ragam hubungan tersebut
adalah antara manusia dengan Pencipta (Tuhan), manusia dengan alam, manusia
dengan manusia lain/masyarakat, dan manusia dengan dirinya sendiri.
Menurut Erich Fromm, ada
empat syarat utama yang harus dipenuhi untuk mewujudkan cinta kasih, yaitu:
1.) Knowledge (pengenalan),
dengan demikian yang bersangkutan akan menerima sebagaimana adanya.
2.) Responsibility (tanggung
jawab), yang mana masing-masing pihak mempunyai tanggung jawab yang sama besarnya.
3.) Care (pengasuhan,
perhatian, perlindungan, saling peduli).
4.) Respect (saling
menghormati).
Cinta kasih bisa dipahami
dari beragam hubungan yang dijalin oleh subjek-subjek yang mengadakan hubungan
tersebut, yaitu:
Manusia dengan Sang
Pencipta, disebut Agape. Bentuknya berupa: pengabdian, pemujaan disertai
kepasrahan.
Manusia dengan manusia
lain, yang disebut:
1.) Philia, jika
bentuknya cinta persaudaraan atau persahabatan;
2.) Eros, jika cintanya
menyangkut aspek ragawi;
3.) Amor, dalam aspek psikologis
dan emosional.
Manusia dengan alam
sekitar/lingkungan.Bentuk cinta kasihnya diwujudkan dengan menjaga/melestarikan
lingkungan, dengan menciptakan keserasian, keselarasan, keseimbangan dengan
alam/lingkungan. Sehingga dapat diupayakan suatu kehidupan yang menyengangkan,
bahagia dan sentosa.
Untuk memperjelas uraian
tentang cinta kasih, berikut ini adalah bentuk-bentuk cinta kasih yang antara
lain adalah:
1.) Cinta terhadap Tuhan
2.) Cinta Persaudaraan
3.) Cinta Keibuan
4.) Cinta Erotis
5.) Cinta Diri Sendiri.
Sedangkan untuk
selanjutnya hanya akan dibahas mengenai cinta terhadap Tuhan dan Cinta
Persaudaraan.
2.1.1. Cinta Terhadap Tuhan
Manusia makhluk ciptaan
Tuhan. Bagaimana perwujudan rasa cinta ditujukan kepada Tuhan, sebenarnya telah
dikemukakan dalam kitab suci yang memuat ajaran-ajaran yang bersifat religius.
Salah satu bentuk yang diajarkan adalah bagaimana kita menjalankan apa yang
Tuhan perintahkan dan menjauhkan apa yang dilarangNya, sebagaimana yang dimuat
dalam kitab suci tersebut. Rasa cinta manusia kepada Tuhan tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia. Oleh karena itu pemujaan kepada Tuhan dalam
bentuk ibadah kepadaNya dengan suatu ikhtiar yang disertai kepasrahan merupakan
inti dari kehidupan manusia. Mengapa hal itu dikatakan demikian? Karena Tuhan
adalah pencipta alam semesta, manusia adalah bagian dari alam semesta yang
tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekuasaan Tuhan.
Selain itu kehidupan
dunia adalah tidak abadi.Untuk mencapai kehidupan yang kekal di akhirat dengan
bahagia, tentunya manusia harus mempersiapkan dirinya dahulu di dunia.
Sebagaimana telah dikemukakan diatas, yaitu dengan menjalankan perintah Tuhan
dan menjauhkan laranganNya. Salah satu yang diperintahkan Tuhan adalah
memberikan cinta kasih terhadap sesama manusia termasuk dirinya sendiri dan
juga terhadap alam semesta.
2.1.2. Cinta Persaudaraan
Manusia adalah makhluk
sosial, ia tidak dapat hidup sendiri di dunia ini tanpa bantuan manusia atau
makhluk lainnya. Selain itu, manusia juga mempunyai kebutuhan-kebutuhan hidup
alamiah yang perlu dipenuhi. Kebutuhan-kebutuhan mendasar tersebut antara lain:
1.) Dorongan untuk
mempertahankan hidup. Sebagai suatu kekuatan biologi yang ada pada semua
makhluk di dunia dan yang menyebabkan mampu mempertahankan hidupnya di muka
bumi.
2.) Dorongan seksual.
Dorongan yang timbul pada tiap individu normal tanpa pengaruh pengetahuan, dan
sebagai landasan biologis yang mendorong manusia untuk meneruskan keturunannya.
3.) Dorongan untuk usaha
mencari makan. Dorongan ini tidak perlu di pelajari, dan sejak bayipun manusia
sudah menunjukkan dorongan untuk mencari makan, yaitu dengan mencari susu
ibunya atau botol susunya tanpa dipengaruhi oleh pengetahuan.
4.) Dorongan untuk
bergaul atau berinteraksi dengan manusia lain. Sebagai landasan biologis dari
kehidupan masyarakat manusia sebagai makhluk kolektif.
5.) Dorongan untuk meniru
tingkah laku sesamanya. Dorongan ini merupakan sumber dari adanya beraneka
ragam kebudayaan manusia. Dengan adanya dorongan ini, manusia mengembangkan
adat yang memaksanya membuat kesepakatan-kesepakatan dengan manusia di
sekitarnya.
6.) Dorongan untuk
berbakti. Dorongan ada dalam naluri manusia karena manusia adalah makhluk yang
hidupnya kolektif. Sehingga untuk dapat hidup bersama dengan manusia lain
secara serasi, ia perlu landasan biologi untuk mengembangkan rasa altruistik,
rasa simpati, rasa cinta dan sebagainya, yang (mendukung) memungkinkannya hidup
bersama tersebut. Kalau dorongan ini diekstensikan dari dorongan untuk berbakti
sesama manusia, kepada kekuatan-kekuatan yang oleh perasaannya dianggap berada
di luar kemampuan dirinya, maka akan timbul religi/agama.
7.) Dorongan akan
keindahan, dalam arti keindahan bentuk, warna-warna, suara atau gerakan. Pada
seorang bayi dorongan ini sudah tampak pada gejala tertariknya seorang bayi
kepada bentuk-bentuk dan warna-warna tertentu. Dorongan naluri ini merupakan
landasan dari suatu unsur penting dalam kebudayaan manusia yaitu kesenian
(Koentjaraningrat, 1990: 109-111).
Kebutuhan-kebutuhan
tersebut di atas tidak dapat dipenuhi oleh dirinya sendiri. Oleh karena itu ia
membutuhkan orang lain untuk memenuhinya. Artinya ia harus bekerjasama dan
menjalin hubungan yang baik dengan orang lain. Bagaimana agar dapat bekerjasama
dan terjalin hubungan yang baik, tentunya harus ditumbuhkan sikap altruisme
yang memperlihatkan rasa cinta kasih antara sesama manusia yang saling
membutuhkan itu, dan bukan sikap yang sebaliknya.
2.2. Penderitaan dan Kegelisahan
2.2.1. Penderitaan
Ciri kehidupan di dunia
ini ditandai oleh tawa dan tangis yang mencerminkan keadaan yang fana. Pada
suatu saat kita temukan kebahagiaan, yang pada umumnya diungkapkan dengan tawa
ria. Pada saat lain kita mengalami penderitaan, kesakitan, kesusahan, yang
biasanya diungkapkan dengan tangis. Penderitaan merupakan pengalaman pahit yang
tidak didambakan oleh setiap manusia.
Hakikat penderitaan
adalah:
1.) Dikotomis, yaitu
kita melihat sesuatu sebagai dua kutub yang berdekatan namun berlawanan,
penderitaan dan kebahagiaan. Tidak ada penderitaan kalau kita tidak mengenal
kebahagiaan, dan sebaliknya.
2.) Universal namun
unik/spesifik. Secara universal setiap orang tahu/mengenal/merasakan arti
penderitaan, namun secara spesifik berat ringannya penderitaan dipersepsikan
secara individual yang dipengaruhi oleh latar belakang sosial budayanya.
3.) Kontradiktif, yaitu
ditemukan pola menyimpang, yang dirasakan aneh bagi orang lain. Pola tersebut
antara lain, dalam penderitaan badaniah terdapat suatu ’kebebasan’/kebahagiaan
rohaniah, penderitaan seseorang untuk kebahagiaan orang lain.
2.2.2. Kegelisahan
Kegelisahan adalah suatu
rasa tidak tentram, tidak tenang tidak sabar, rasa khawatir/cemas pada manusia.
Jadi gelisah merupakan suatu rasa negatif yang berkembang dalam diri manusia,
yang bersifat psikologis/kejiwaan. Kegelisahan merupakan gejala universal yang
ada pada diri manusia manapun. Namun kegelisahan hanya dapat diketahui dari
gejala tingkah laku atau gerak-gerik seseorang dalam situasi tertentu.
Kegelisahan menujukkan
pada sesuatu yang negatif, tetapi di sisi lain tetap mempunyai harapan.
Sehingga antara kegelisahan dan harapan seolah-olah merupakan saudara kembar.
Muncul ketenangan apabila ada keseimbangan antara kegelisahan dan harapan.
2.3. Otoritas Agama dan Masyarakat
Pada dasarnya masyarakat
modern ditandai dengan menguatnya rasionalitas dan melemahnya peran agama.
Sebelum perkembangan ilmu pengetahuan seperti saat ini, agama menjadi pemandu
manusia dalam mengatasi kecemasan hidupnya di tengah “kekuatan alam”. Meskipun
tidak memberikan suatu tingkat solusi yang dapat dipertanggungjawabkan, namun
agama dalam kehidupan masyarakat senantiasa menjadi obat mujarab segala
persoalan.
Dalam proses selanjutnya,
perkembangan ilmu pengetahuan menggeser peran agama tersebut. Ilmu pengetahuan
dinilai sangat membantu manusia dalam memecahkan misteri alam. Padahal di masa
sebelum ilmu pengetahuan, kekuatan alam seringkali menjadi sesuatu yang
mencemaskan bagi kehidupan manusia. Bahkan penyembahan terhadap alam dalam
komunitas agama primitif tidak bisa dilepas dari misteri kekuatan alam yang mencemaskan
itu.
2.4. Peran Agama Menguat
Pasca berkembang pesatnya
ilmu pengetahuan di abad modern ini, alam justru menjadi pelayan manusia.
Bahkan terdapat kecenderungan ekploitasi terhadap alam bagi kesejahteraan hidup
manusia. Proses modernisasi di sebuah negara, yang ditandai dengan semakin
kuatnya peran ilmu pengetahuan diramalkan akan mencabut peran agama dalam
masyarakat.
Namun ramalan itu
ternyata tidak sepenuhnya tepat. Hingga kini kita masih melihat kecenderungan
kuatnya peran agama dalam masyarakat. Dalam masyarakat modern di kota-kota
besar Indonesia, misalnya, menggambarkan adanya kegairahan dalam beragama.
Maraknya acara-acara keagamaan dan bermunculannya tokoh-tokoh pendakwah muda
menunjukkan adanya permintaan yang sangat besar dari masyarakat kota terhadap
otoritas agama. Dalam industri televisi juga dapat dilihat dari begitu
tingginya rating acara-acara yang bernuansa agama. Dapat disimpulkan bahwa
semakin modern sebuah masyarakat tidak serta merta menggeser peran agama dalam
kehidupan mereka.
Dalam hal-hal tertentu
memang kita saksikan adanya pergeseran. Dahulu, hampir semua persoalan sosial
yang dialami masyarakat biasanya akan dikonsultasikan kepada tokoh agama.
Mereka menjadi konsultan dari persoalan publik hingga problem keluarga. Modernisasi
kemudian menggeser peran itu. Persoalan sosial tersebut kini sudah
terfragmentasi dalam lembaga-lembaga khusus sesuai dengan keahlian dari
pengelola lembaga tersebut. Jadi, dalam batas-batas tertentu modernisasi atau
perkembangan ilmu pengetahuan memang telah menggeser posisi agama. Namun itu
tidak serta merta dapat dimaknai bahwa agama akan kehilangan fungsi dan
menghilang dengan sendirinya.
B. Fungsi Agama dalam Masyarakat
Dalam kehidupan
bermasyarakat, agama memiliki fungsi yang vital, yakni sebagai salah satu
sumber hukum atau dijadikan sebagai norma. Agama telah mengatur bagaimana
gambaran kehidupan sosial yang ideal, yang sesuai dengan fitrah manusia. Agama
juga telah meberikan contoh yang konkret mengenai kisah-kisah kehidupan
sosio-kultural manusia pada masa silam, yang dapat dijadikan contoh yang sangat
baik bagi kehidupan bermasyarakat di masa sekarang. Kita dapat mengambil hikmah
dari dalamnya. Meskipun tidak ada relevansinya dengan kehidupan masyarakat
zaman sekarang sekalipun, setidaknya itu dapat dijadikan pelajaran yang
berharga, misalnya agar tidak terjadi tragedi yang sama di masa yang akan
datang.
Seperti yang kita semua
ketahui, sekarang banyak terdengar suara-suara miring mengenai Islam. Banyak
orang kafir yang memanfaatkan situasi ini untuk memojokkan umat Islam di
seluruh dunia dengan cara menyebarkan kebohongan-kebohongan. Menghembuskan
fitnah yang deras ke dalam tubuh masyarakat Islam, sehingga membuat umat Islam
itu sendiri merasa tidak yakin dengan keimanannya sendiri.
Kasus terhangat baru-baru ini adalah
mengenai pernikahan antara seorang kyai berusia 40 tahunan yang dikenal sebagai
Syeh Puji yang menikahi gadis berusia 12 tahun! Dalam pandangan Islam, hal ini
sah-sah saja. Karena, Rasulullah SAW sendiri menikahi Aisyah RA saat Aisyah
masih berumur 9 tahun! Tetapi bagaimana pandangan masyarakat umum saat ini
tentang kasus pernikahan ’unik’ ini? Banyak versi pendapat yang menghiasinya.
Ada masyarakat umum yang memandang peristiwa ini sebagai peristiwa yang
menghebohkan. Bagaimana ini bisa terjadi? Disinilah sebenarnya fungsi agama
sebagai sumber hukum yang utama dapat diterapkan. Kita boleh saja berbeda
pandangan mengenai peristiwa ini. Tetapi sekali lagi, agama lah yang harus kita
jadikan rujukan.