Jumat, 22 April 2016

Contoh Karangan Ilmiah dan Artikel Ekstitensi Bahasa Indonesia

DAMPAK GLOBALISASI TERHADAP PENDIDIKAN


Dampak Globalisasi Terhadap Pendidikan
BAB I
    PENDAHULUAN

   
    1.1 Latar Belakang
    Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia (Edison A. Jamli, 2005). Proses globalisasi berlangsung melalui dua dimensi, yaitu dimensi ruang dan waktu. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, dan terutama pada bidang pendidikan. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, teknologi informasi dan komunikasi berkembang pesat dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia. Oleh karena itu globalisasi tidak dapat dihindari kehadirannya, terutama dalam bidang pendidikan.

    Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disertai dengan semakin kencangnya arus globalisasi dunia membawa dampak tersendiri bagi dunia pendidikan. Banyak sekolah di indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini mulai melakukan globalisasi dalam sistem pendidikan internal sekolah. Hal ini terlihat pada sekolah – sekolah yang dikenal dengan billingual school, dengan diterapkannya bahasa asing seperti bahasa Inggris dan bahasa Mandarin sebagai mata ajar wajib sekolah. Selain itu berbagai jenjang pendidikan mulai dari sekolah menengah hingga perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang membuka program kelas internasional. Globalisasi pendidikan dilakukan untuk menjawab kebutuhan pasar akan tenaga kerja berkualitas yang semakin ketat. Dengan globalisasi pendidikan diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat bersaing di pasar dunia. Apalagi dengan akan diterapkannya perdagangan bebas, misalnya dalam lingkup negara-negara ASEAN, mau tidak mau dunia pendidikan di Indonesia harus menghasilkan lulusan yang siap kerja agar tidak menjadi “budak” di negeri sendiri.

    Persaingan untuk menciptakan negara yang kuat terutama di bidang ekonomi, sehingga dapat masuk dalam jajaran raksasa ekonomi dunia tentu saja sangat membutuhkan kombinasi antara kemampuan otak yang mumpuni disertai dengan keterampilan daya cipta yang tinggi. Salah satu kuncinya adalah globalisasi pendidikan yang dipadukan dengan kekayaan budaya bangsa Indonesia. Selain itu hendaknya peningkatan kualitas pendidikan hendaknya selaras dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Tidak dapat kita pungkiri bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Dalam hal ini, untuk dapat menikmati pendidikan dengan kualitas yang baik tadi tentu saja memerlukan biaya yang cukup besar. Tentu saja hal ini menjadi salah satu penyebab globalisasi pendidikan belum dirasakan oleh semua kalangan masyarakat. Sebagai contoh untuk dapat menikmati program kelas Internasional di perguruan tinggi terkemuka di tanah air diperlukan dana lebih dari 50 juta. Alhasil hal tersebut hanya dapat dinikmati golongan kelas atas yang mapan. Dengan kata lain yang maju semakin maju, dan golongan yang terpinggirkan akan semakin terpinggirkan dan tenggelam dalam arus globalisasi yang semakin kencang yang dapat menyeret mereka dalam jurang kemiskinan. Masyarakat kelas atas menyekolahkan anaknya di sekolah – sekolah mewah di saat masyarakat golongan ekonomi lemah harus bersusah payah bahkan untuk sekedar menyekolahkan anak mereka di sekolah biasa. Ketimpangan ini dapat memicu kecemburuan yang berpotensi menjadi konflik sosial. Peningkatan kualitas pendidikan yang sudah tercapai akan sia-sia jika gejolak sosial dalam masyarakat akibat ketimpangan karena kemiskinan dan ketidakadilan tidak diredam dari sekarang.
   

    1.2  Rumusan Masalah
    Secara umum, rumusan masalah  pada makalah “Dampak Globalisasi Terhadap Pendidikan” ini dapat dirumuskan seperti pada pertanyaan berikut.
    a.      Apa dampak dari globalisasi untuk  dunia pendidikan?
    b.      Penyebab buruknya pendidikan di era globalisasi?
    c.      Cara penyesuan pendidikan di Indonesia pada era globalisasi?
   

    1.3  Tujuan Penulisan

    1.3.1 Bagi Penulis
    Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas yang diberikan guru dalam mata pelajaran bahasa indonesia. Selain itu, bagi diri kami pribadi makalah ini juga diharapkan bisa digunakan untuk menambah pengetahuan yang lebih bagi siswa, baik dalam lingkup SMPN 3 KRAMATWATU maupun di sekolah-sekolah yang lain.



    1.3.2 Bagi Pembaca
    Makalah ini dimaksudkan untuk membahas dampak globalisasi terhadap dunia pendidikan dan menambah ilmu pengetahuan mengenai globalisasi. Para pembaca yang dominan dari kaula mahasiswa bisa digunakan untuk langkah menuju ke pengetahuan yang lebih luas, sehingga kedepannya tercipta sdm-sdm yang unggul.


    1.3.3 Bagi Masyarakat
    Diharapkan masyarakat bisa lebih memahami tentang arti penting globalisasi sehingga dampak bisa negative yang berimbas bisa leih diperkecil. Dan juga diharapkan agar realisasi kegiatan positif terhadap adanya pendidikan semakin lebih baik.
   


   


 1.4 Metode Penelitian
          Metode yang digunakan dalam Penelitan ini adalah sebagai berikut.

    1.4.1 Menggunakan angket yang disebarkan kepada 38 orang siswa SMP tentang DAMPAK GLOBALISASI TERHADAP PENDIDIKAN yang terdapat pada lingkungan sekolah SMPN 3 KRAMATWATU.
    1.4.2 Mengamati terhadap beberapa sekolah yang ada disekitar wilayah serang.













Eksistensi Bahasa Indonesia Dalam Pendidikan Berbasis Keragaman Budaya


Eksistensi Bahasa Indonesia Dalam Pendidikan Berbasis Keragaman Budaya 
Ketika saya dikontak oleh panitia untuk berbicara tentang peranan bahasa Indonesia dalam pendidikan berbasis keragaman budaya (seingat saya), dan dikuatkan dengan informasi tertulis bahwa seminar bertajuk ”Pendidikan Berbasis Keragaman Budaya: Sumbangan Bahasadan Sastra Indonesia”, pikiran saya lalu teringat pada bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013. Terdapat pro dan kontra terkait dengan pembelajaran bahasa Indonesia dengan diberlakukannya Kurikulum 13. Hal itu ditunjukkan adanya polemik yang muncul di media dan itu semua sebenarnya bermanfaat bagi pengembangan kurikulum itu sendiri. Sekedar contoh, dapat dibaca ulang tulisan Bambang Kaswanti Purwa yang berjudul ”Kurikulum Bahasa Indonesia (Kompas, 20 Maret 2013), Mahsun yang berjudul ”Pembelajaran Teks dalam Kurikulum 13” (Media Indonesia, 17 April 2013). Di sisi yang lain saya juga teringat pada kondisi kebahasaan dan budaya di Indonesia yang menunjukkan adanya keanekaragaman yang luar biasa.

Dari pemikiran tersebut selanjutnya muncul berbagai pertanyaan. Pertanyaan yang muncul antara lain: (1) sebenarnya dalam kondisi masyarakat Indonesia dengan wilayah yang begitu luas, dengan penduduk yang memiliki berbagai macam latar bahasa daerah, suku, dan kebudayaan, apa peran atau fungsi kehadiran bahasa Indonesia?

Bagaimana kedudukan dan fungsi bahasa-bahasa yang ada tersebut (bahasa Indonesia dan bahasa daerah)? (2) Setelah pertanyaan tersebut terjawab, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana upaya yang dilakukan agar peran atau fungsi tersebut dalam taraf praksis dapat menjadi kenyataan? Bila salah satu respon atas pertanyaan kedua itu adalah ancangan pemerolehan bahasa atau pembelajaran bahasa, pertanyaan yang akan munculbagaimana rumusan tujuan, materi, metode, dan sebagainya? Dengan rasional yang demikian,akhirnya saya menulis judul artikel ini.

Sebelum berbicara lebih jauh, kiranya diperlukan pijakan bersama tentang pendidikan berbasis keragama budaya. Keragaman budaya sebagai basis pendidikan mengacu pada pendidikan multikultural yang pada mulanya merupakan kebijakan sosial dengan prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa hormat antara kelompok sosial budaya di dalam masyarakat yang majemuk. Oleh karenanya secara sederhana sering dinyatakan bahwqa pendidikan ini mengacu pada adanya pengakuan adanya plurasisme budaya. Target pendidikan ini adalah agar masyarakat multicultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan yang demokratis (Banks, 1993).

Pendidikan multicultural sebagai proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keberagaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang majemuk. Peserta didik diarahkan pada pemahaman, pengakuan, akan adanya kesetaraan budaya. Oleh karenanya pendidikan multicultural sering dianggap sebagai pengejawantahan dari ideologi kesetaraan budaya.

Pendidikan berbasis keragaman budaya pada kesempatan lain sering disebut pendidikan multikultural, multibudaya, bahkan ada yang menyebut interkultural meski yang terakhir ini agak berbeda konsepnya (lihat Tilaar, 200). Race (2011) menyatakan bahwa pendidikan multikultural yang terjadi di Inggris (perlu diingat pahwa pendidikan multikultural berkembang lebih dulu di Amerika) di arahkan pada terjadinya asimilasi dan integrasi. Ia membagi menjadi lima dimensi multikulturalisme yang meliputi isi/tema integrasi (content of integration), membangun pengetahuan (knowledge construction), Pendidikan berkeadilan (equity pedagogy), penghilangan kecurigaan (prejudice reduction), dan pemberdayaan kultur sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure).

Secara ideal pendidikan multikultural mememberikan kesempatan kepada semua siswa dapat mengakses pengalaman belajar inklusif. Dalam hal pendidikan di Indonesia khususnya bidang bahasa kegiatan pembelajaran berbahasa harus memberikan kesempatan siswa agar mahir dalam berbahasa Indonesia dan bahasa lain, memiliki pengetahuan dan kesadaran yang mendalam tentang dirinya dan budaya lain, memahami hakikat multikultural, memahami dan terampil untuk berinteraksi pada setting lintas budaya, memiliki apresiasi pentingnya dari lokal, nasional, internasional saling bergantung dalam lingkungan sosial, dan memahami bahwa saling mendukung dalam hal ini seba-gai hal yang vital untuk membangungun harmoni lokal dan global. 

Sekolah mengakomodasi dalam semua aspek kehidupan sekolah: mengenalkan perbedaan sebagai penga-laman belajar yang positif, slaing berhubungan secara interkultural, guru dan sisiwa membangun pemahaman interkultural dan keterampilan komunikasi lintas budaya sehinggga terbangun kesatuan melalui perbedaan (unity through diversity) (cf. Race, 2011)

Hal di atas perlu ditekankan, karena dalam realitasnya bangsa Indonesia terdiri atas banyak etnis dengan berbagai ragam bahasa dan kebudayaan. Kondisi yang demikian merupakan keniscayaan bagi Indonesia dan ini telah disadari betul oleh bangsa Indonesia dengan semboyannya “Bhineka tunggal ika”. Namun demikian, mungkin sekali belum disadari oleh sebagian anak bangsa Indonesia bahwa keanekaragaman tersebut berimplikasi pada pentingnya pemahaman aneka latar sehingga dapat saling
menghargai dan saling memahami (lihat Kedaulatan Rakyat, 17 September 2006). Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Mochtar Pabottinggi (lewat Soemanto, 2006) bahwa negara adalah kesatuan politis, sedangkan bangsa adalah kesatuan sosiologis. Kesatuan bangsa terus-menerus menjadi masalah yang penyebab utamanya adalah bangsa multietnik. Keniscayaan yang diidealkan adalah adanya kesiapan bangsa Indonesia itu sendiri untuk hidup berbangsa dalam multi etnik. Hidup berbangsa dalam multietnik harus mempunyai kesiapan hidup dengan ras-ras lain, pandangan hidup lain, penghayatan iman yang tidak sama, harus pula belajar hidup dengan orang yang memiliki kepentingan sang tidak sama (Soemanto, 2006).

Diskusi tentang hubungan bahasa dan kebudayaan perlu mendapatkan porsi tersendiri dalam mletakkan posisi bahasaa dalam kaitannya dengan pendidikan berbasis keragaman budaya. Telah banyak ahli bahasa yang membicarakan kaitan bahasa dan kebudayaan, dan ada pula yang mengaitkan bahasa, kebudayaan, dan pikiran. Topik kaitan antara bahasa dan kebudayaan dapat dilihat pada tulisan para ahli bahasa, seperti Steinberg (1982), Samsuri (1985), Alwasilah (1985), Hakuta (1986), Trugill (1987), Yule (1990), Hudson (1991). Struktur otak manusia memang berbeda dengan struktur otak makhluk yang lain. Otak manusia dapat digunakan untuk berpikir, dan sarana untuk berpikir salah satunya berupa bahasa. Dengan bahasa, manusia melakukan kegiatan berpikir.Dapat dibayangkan ketika orang berpikir atau merenung tanpa bahasa apa yang terjadi. Oleh karena itu, dapat dimaklumi adanya pendapat bahwa keunikan manusia sebenarnya tidak terletak pada kemampuan beripikir melainkan terletak pada kemampuan berbahasa. Tentu saja tanpa kemampuan berbahasa manusia tidak akan dapat berpikir secara sistematis dan teratur. Ernest Cassirer menyebut manusia sebagai homo symbolicum ’makhluk yang menggunakan simbol’ yang cakupannya lebih luas daripada homo sapiens ’makhluk berpikir’.

Kebudayaan  yang dalam beberapa sumber dipandang hasil cipta, rasa, dan karsa masyarakat, yang dalam perkembanganny termasuk proses/kegiatan berolah cipta, rasa, dan karsa yang berarti pula melibatkan pikiran atau akal budi) secara garis besar dapat dibedakan menjadi kebudayaan material dan kebudayaan spiritual (Soemardjan dan Soemardi, 1964: 113; Samsuri, 1985: 8). Melalui kemampuan ciptanya manusia memanfaatkan kemampuan mental dan berpikir sehingga menghasilkan pengetahuan.

Melalui kemampuan rasanya manusia menciptakan norma dan nilai kemasyarakatan demi kemaslakatan masyarakat itu sendiri. Melalui kemampuan karsanya manusia menciptakan teknologi dan kebudayaan material. Sejalan dengan batasan Tylor (Tilaar, 2000) kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, serta kemampuan berpikir dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Representasi suatu bahasa pada hakikatnya berupa kegiatan pemakaian bahasa itu sendiri oleh komunitasnya dalam berbagai keperluan. Nilai bahasa terletak pada makna yang disimbolkan oleh suatu bahasa. Bahasa boleh oleh sebagaian besar ahli dipandang sebagai wujud kebudayaan, dan di sisi lain bahasa sebagai wahana kebudayaan. Bahkan, bahasa dipersepsi sebagai simbol kebudayaan. Hal itu tampak pada kenyataan bahwa bahasa Inggris dianggap sebagai simbol modernisme dan teknologi, bahasa Arab sebagai simbol agama Islam (Alwasilah, 2003). Oleh karenanya dapat diakui bila vitalitas bahasa terletak pada kemampuan bahasa itu berfungsi sebagai simbol kebudayaan.

Dari ilustrasi singkat tersebut dapat dikuatkan adanya kaitan antara bahasa dan kebudayaan. Bahasa sebagai bagian budaya dan sebagai wahana kebudayaan. Dari bahasa yang digunakannya seseorang dapat ditebak kebudayaannya, nilai yang dianutnya, atau keyakinan agama yang dianutnya. Dari bahasanya pula seseorang dapat diketahui sopan santunnya, sikap terbuka tidaknya, jalan pikirannya, bahkan kejujurannya (Kawulusan, 1998: 1). Dengan gambaran yang demikian itu, dapat dimaklumi adanya pernyataan bahwa “bahasa menunjukkan bangsa” (Kawulusan, 1998: 1; Samsuri, 1985).

Bagaimana arah hubungan bahasa dan kebudayaan, setidaknya terdapat dua kutub pandangan yang telah muncul. Pertama, pandangan yang sering disebut dengan hipotesis Worf - Sapir yang pada intinya menyatakan bahwa bahasa memengaruhi kebudayaan (Wardhaugh, 1992; Chair, 1994, Yule, 1990). Dalam konsep ini bahasa dipandang memengaruhi pikiran komunitas pemakainya, dan disebutnya dengan ”language determines thought”, yang sering pula disebut linguistic determinism (Yule, 1990: 196). Bahasa merupakan dasar pikiran karena bahasa memang merupakan wahana berpikir atau bernalar (Steinberg, 1982; Hakuta, 1986). Oleh karena itu, penutur yang berbeda bahasa memiliki pola pikir yang berbeda pula. Apa yang dilakukan masyarakat bahasa dipengaruhi oleh sifat bahasanya. Kedua, pandangan yang bertolak belakang dengan hipotesis yang pertama, yang perpandangan bahwa kebudayaan memengaruhi bahasa. Perilaku masyarakat saat berbahasa dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat itu pula atau dengan pernyataan lain bahasa merefleksikan budaya. Sistem budaya akan mengontrol perilaku manusia melalui sistem kontyrol sosial dan sistem kepribadian (Parsons dalam Mahsun, 2013). Secara tegas, Koentjaraningrat (1990) menyatakan bahwa kebudayaan sangat menentukan wujud bahasa.

Uraian di atas terkesan adanya overlapingantara bahasa dan kebudayaan. Hal itu terkait dengan bahasa sebagai bagian kebudayaan, hasil budaya tetapi juga sebagai wahana budaya. Perilaku berbahasa merupakan operasionalisasi sistem bahasa dan kebudayaan berkomunikasi dari suatu komunitas bahasa. Bahasa dan kebudayaan sama sama memperngaruhi perilaku berbahasa. Hubungan antara kebudayaan, bahasa, dan perilaku berbahasa dapat digambarkan berikut ini (modifikasi model Hudson,1991: 84).

Gambar: Hubungan Kebudayaan, Bahasa, dan Perilaku Berbahasa

Gambar di atas menunjukkan bahwa bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi kebudayaan juga bagian dari bahasa. Bahasa dan kebudayaan sama-sama memperngaruhi perilaku berbahasa atau sebaliknya. Bila diungkapkan dengan cara lain gambar tersebut dapat dikatakan bahwa peristiwa berbahasa selalu terkait dengan dua konteks, yaitu konteks bahasa dan konteks kebudayaan. Konteks bahasa dalam hal ini mengarah pada konteks pertuturan atau konteks situasi, yang dapat mencakup aspek identitas partisipan, waktu, dan tempat peristiwa komunikasi, topik pertuturan, dan tujuan pertuturan (Levinson, 1985: 5; 276). Konteks yang kedua, merupakan konteks yang relatif umum yang berlaku dalam masyarakat bahasa. Konteks kebudayaan mengisyaratkan bahwa setiap pemakai bahasa dalam mengadakan interaksi sosial atau berbahasa selalu terpola oleh kebudayaan yang dimilikinya.

Dalam suatu komunitas bahasa terdapat pranata berkomunikasi yang sering disebut kaidah pragmatik, yang di dalamnya terdapat pragmalinguistik dan sosiopragmatik. Pragmalinguistik terkait dengan kaidah bahasa yang berupa tata bahasa sehingga ”urusannya” lebih menitikberatkan pada aspek linguistik terutama yang terkait dengan persoalan fungsional komunikasi. Sosiopragmatik terkait dengan permasalahan sosiologi sehingga inferensi pragmatik yang dihasilkan pada hakikatnya merupakan inferensi sosiologis (Leech, 1983; lihat Zamzani, 1999; 2007, 2008). Dengan pernyataan lain dapat dikatakan bahwa peristiwa komunikasi dalam suatu komunitas selalu terkait dengan dua konteks, yaitu konteks bahasa dan konteks kebudayaan.

Konteks bahasa dalam hal ini mengarah pada konteks pertuturan atau konteks situasi, yang dapat mencakup aspek identitas partisipan, waktu dan tempat peristiwa komunikasi, topik pertuturan, dan tujuan pertuturan (Levinson, 1985: 5; 276). Konteks kebudayaan merupakan konteks yang relatif umum yang berlaku dalam masyarakat bahasa. Konteks kebudayaan ini mengisyaratkan bahwa setiap komunitas pemakai bahasa dalam mengadakan interaksi sosial atau berkomunikasi selalu terpola oleh
kebudayaan yang dimilikinya.

Bagaimana bahasa dapat berfungsi sebagai perekam ciri kebudayaan diberikan oleh Adhitama (1998: 2-4). Ia memberikan contoh betapa banyak kata ganti kekerabatan seperti glos ibu, bapak, adik, dan kakak, yang digunakan tidak lagi sebagai kata yang menunjukkan hubungan kekerabatan, untuk menunjuk orang yang tidak memiliki hubungan keluraga. Penggunaan yang seperti itu banyak dijumpai di negara-negara Asia, dan tidak dijumpai di negara-negara Barat.

Dalam era globalisasi tidak berarti aspek kehidupan manusia baik bidang ekonomi, politik, maupun kebudayaan akan secara otomatis menjadi homogin. Justru pada era globalisasi tersebut kekhususan suatu bangsa semakin tampak (atau ditampakkan?). Hal itu tampak dari adanya penegasan tentang kemerdekaan, atau kedaulatan suatu bangsa. Salah satu kekhususan yang terdapat pada identitas bangsa adalah bahasa, bahasa dijadikan jati diri bangsa. Jati diri bangsa dapat menguat, dapat pula melemah (Naisbit dalam Muradi, 1998: 1).

Kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia Secara politis telah jelas. Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional (bahasa persatuan) tercantum dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dan sebagai bahasa negara tercantum dalam UUD 1945, Bab XV, pasal 36, dan UU nomor 24 Tahun 2009. Kondisi yang demikian boleh dibanggakan, karena negara yang begitu luas dan penduduk yang terdiri atas berbagai etnis sejak kemerdekaanya telah memiliki satu bahasa untuk menyelenggarakan negara. 

Dalam kemerdekaannya itu, bangsa Indonesia bertekat untuk membangun kebudayaan nasional, kebudayaan Indonesia melalui pembangunan bahasa Indonesia (Lihat fungsi dan kedudkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara!).

Bahasa Indonesia sebagai alat integrasi bangsa (secara politis) tampak jelas fungsinya dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, yaitu lambang kebanggaan nasional, lambang identitas nasional, alat pemersatu bangsa, dan alat perhubungan antarbudaya dan antardaerah. Telah diketahui bahwa wilayah Indonesia begitu luas, yang terdiri atas ribuan pulau dengan penduduk yang sangat majemuk, berlatar etnis, budaya, dan bahasa yang beraneka. Untuk memberikan gambaran bagaimana kondisi kebahasaan Indonesia pada masyarakat Indonesia.

Pemakai bahasa Indonesia pada tahun 90-an (hasil sensus BPS 1990, sekarang tentulah terjadi pergeseran) menunjukkan keadaan berikut ini. Penduduk yang berusia lima tahun ke atas dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) penduduk yang mengaku memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari sekitar 24 juta (15%), (2) penduduk yang mengaku dapat berbahasa Indonesia, tetapi tidak memakainya sebagai bahasa sehari-hari sebanyak 107 juta (68%), dan (3) penduduk yang belum memahami bahasa Indonesia 27 juta (17%) (lihat Moeliono, 1998). Republika, tanggal 4 Maret 2014 memberitakan pernyataan Kepala Balai Bahasa Yogyakarta bahwa di Indonesia terdapat 726 bahasa daerah, yang berhasil dipetakan 456 bahasa daerah, yang memiliki penutur di atas 1 juta 13 bahasa. Pada Kongres Bahasa IX di Jakarta, Dendy Sugondo menyatakan terdapat 746 bahasa daerah, dan pulau di Indonesia ada 17508, yang telah bernama 7870, suku bangsa 1128. Data BPS 2010 menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat 1340 suku bangsa: Jw 41,7% (86.012 juta), Sunda 5,4% (31.765 juta) Melayu 3,4% (7.7 juta), Madura 3,3% (6,80 juta) Batak (3,0% (6.188 juta) dari jumlah keseluruhan 206 juta.

Kondisi itu ternyata sejalan dengan tingkat pendidikan usia kerja, yaitu angkatan kerja usia sepuluh tahun ke atas yang berpendidikan SD mencapai 78% (Moeliono, 1998). Hal itu menunjukkan bahwa untuk penduduk Indonesia, semakin tinggi pendidikan seseorang semakin baik potensi seseorang untuk dapat mengungkapkan dirinya lewat bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.

Keadaan tersebut tentu saja dipengaruhi oleh aspek lain, satu di antaranya adalah adanya bahasa dan kebudayaan daerah. Mengapa demikian? Kiranya dapat diyakini, bahwa penduduk yang termasuk ke dalam kelompok (2) dan (3), atau tidak termasuk ke dalam kelompok (1) tersebut dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar menggunakan bahasa daerah. Hal itu ditunjukkan oleh sebaran penutur bahasa di Indonesia yang ternyata penutur bahasa Indonesia hanya mencapai 15,19%, jauh di bawah penutur bahasa Jawa yang mencapai 38,08% dan hampir sama dengan jumlah penutur bahasa Sunda yang mencapai 15,26%, bahasa daerah lainnya memang kurang dari 5% (BPS 1990, melalui Mu’adz, 1998: 5). Selain itu, pada saat melakukan komunikasi penutur bahasa Indonesia itu menggunakan tata nilai kebudayaan penutur itu sendiri yang dominan warna kebudayaan daerahnya. Hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa kebudayaan Indonesia (nasional) diklaim sebagai puncak kebudayaan daerah, yang tentulah belum tentu merupakan asimilasi atau fusi dari sejumlah kebudayaan daerah, yang berbeda dengan kebudayaan Amerika (lihat Alwasilah, 2003, Taylor dalam Reynolds, 1991; Paulston, 1992).

Bahasa Indonesia digunakan untuk berinteraksi antaretnis tersebut yang tentu saja merupakan multibudaya juga. Pada saat berbahasa Indonesia, masyarakat cenderung menggunakan norma atau tata nilai kebudayaan daerah. Sebagai konsekuensinya, tidak jarang komunikasi tersebut kurang harmonis, bahkan sampai pada taraf yang “menyakitkan”, yaitu salah paham. Agar interaksi antaretnis dapat berlangsung secara harmonis diperlukan pemahaman lintas budaya, yaitu lintas antarsubbudaya. Kebudayaan daerah dapat dipandang sebagai subbudaya (Popenoe,1983: 5). Pemahaman lintas budaya itu setidaknya berupa pemahaman sistem nilai, yang dapat mencakup antara lain santun berkomunikasi suatu subbudaya, sterio tipe suatu subbudaya, tata makna kata dalam subbudaya. Dalam perkembangannya, hubungan antara budaya Indonesia dengan budaya daerah/lokal sebagai subbudaya tersebut ternyata menimbulkan pelemik dalam kaitannya pengembangan bangsa ke depan.

Atas dasar hal tersebut akan dimungkinkan dalam kegiatan berbahasa, orang Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia sebenarnya belum menggunakan kebudayaan Indonesia, melainkan menggunakan kebudayaan “Indonesia”. Kebudayaan “Indonesia” itu dapat berupa budaya daerah, atau asimilasi/fusi antarbudaya daerah.

Dengan demikian, sesama orang Indonesia yang melakukan kegiatan berwacana menggunakan bahasa Indonesia dimungkinkan saling berusaha memprediksi, mengapresiasi, dan kemudian memahami kebudayaan yang digunakannya. Misalnya, orang Jawa berbahasa Indonesia menggunakan tata nilai kebudayaan Jawa, orang Sunda berbahasa Indonesia menggunakan kebudayaan Sunda, dan seterusnya. Sebagai konsekuensinya, adanya muatan kebudayaan yang bermacam-macam tersebut dapat menimbulkan terjadinya salah paham dalam berkomunikasi. Bahkan, Kartomohardjo (1996) memberikan pernyataan bahwa terdapat kecenderungan orang Jawa dipandang oleh orang Sunda sebagai tidak tegas, plinplan, dan sebagainya berdasarkan perilaku berbahasanya, dan sebaliknya orang Jawa cenderung menganggap orang Sunda terlalu kasar, berterus terang dan sebagainya.

Sekarang marilah didiskusikan eksistensi pembelajaran bahasa Indonesia. Tujuan pengajaran bahasa dirumuskan dalam rangka mencapai fungsi suatu bahasa. Dengan mempertimbangkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, baik dalam kedudukan sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara (lihat UU RI Nomor 24 tahun 2009), serta sastra Indonesia sebagai hasil cipta intelektual dalam produk budaya, fungsi mata pelajaran bahasa (dan sastra Indonesia), diarahkan sebagai (1) sarana pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa, (2) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya, (3) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meraih dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, (4) sarana penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia yang baik untuk berbagai keperluan menyangkut berbagai masalah, (5) sarana pengembangan penalaran, dan (6) sarana pemahaman beragam budaya Indonesia melalui khazanah kesusasatraan Indonesia (Depdikbud, 1993/1994; Depdiknas, 2003; Depdiknas, 2006; lihat pula Kemendikbud, 2013a; Kemendikbud, 2013b; Kemendikbud, 2013c).

Dari keenam butir fungsi mata pelajaran tersebut yang terkait dengan permasalahan program atau fungsi pengembangan berpikir yang dalam hal ini dinyatakan secara eksplisit dengan kata penalaran (butir 5). Meski demikian, sebenarnya fungsi berpikir tidak dapat terlepaskan dengan butir (2), (3), dan (6). Butir pertama terkait dengan membangun jiwa ke-Indonesiaan anak bangsa Indonesia, dan butir (4) keterkaitannya dengan persoalan pengembangan berpikir tampak kurang langsung, melainkan terimplisitkan pada fungsi mengembangkan keterampilan penggunaan bahasa dalam berbagai keperluan menyangkut berbagai masalah. Bila dicermati penggunaan bahasa dalam berbagai berbagai keperluan dan berbagai masalah terkait dengan persoalan teks atau genre( lihat Zamzani, 2013).

Tujuan pengajaran bahasa Indonesia (dalam beberapa sumber sering digunakan pembelajaran bahasa) dapat ditemukan dalam berbagai dokumen. Permendiknas 22 tahun 2006 tentang Standar Isi (bandingkan dengan rumusan fungsi dan tujuan dalam Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, Depdiknas, 2003 dan bandingkan dengan kompetensi inti dan kompetensi dasar dalam Kemendikbud, 2013a; Kemendikbud, 2013b; dan Kemendikbud, 2013c) menyatakan pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan insan Indonesia. Hal ini sejalan dengan hakikat belajar bahasa yang utama adalah belajar berkomunikasi, meski ada beberapa tujuan seseorang belajar bahasa terkait dengan fungsi pendidikan, antara lain tujuan integratif, instrumental, penalaran, dan kebudayaan. Pengajaran bahasa diarahkan pada pemberian bantuan atau peluang agar peserta didik mampu mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya.

Dengan arah tersebut pendidikan (baca pengajaran) bahasa Indonesia dirumuskan menjadi enam butir tujuan, yaitu (1) berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis (formal dan informal), (2) menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, dan (3) memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan, (4) menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial, (5) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, dan (6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual insan Indonesia.

Apabila dicermati, di antara keenam butir tersebut terdapat tiga butir (3, 4, dan 5) yang secara terstruktur dan terprogram diarahkan pada pemosisian pengajaran bahasa dalam kaitannya dengan kegiatan berpikir (intelektual dan emosional) peserta didik dengan menyatakan bahwa pendidikan bahasa Indonesia diarahkan untuk (1) memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif, (2) meningkatkan kemampuan intelektual, kematangan emosional, dan (3) memperluas wawasan. Hal tersebut perlu disadari dan dihayati secara sungguh-sungguh oleh para pemangku kepentingan karena bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Tanapa terkecuali, semuanya selalu terkait dengan nilai-nilai budaya. Perlu disadari pula bahwa kompetensi berbahasa yang memadai pada hakikatnya dapat dijadikan sebagai “modal” dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global.

Posisi bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan budaya dan bahasa daerah telah dipertimbangkan secara jelas. Hal tersebut ditampakkan pada rumusan kompetensi dasar sebagai bentuk operasionalisasi pencapaian kompetensi inti melalui pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia. Pembelajaran bahasa Indonesia yang sering disebut berbasis teks (lihat Mahsun, 2013). Pada prinsipnya pembelajaran bahasa berbasis teks dan olehnya teks dapat dipandang sebagai salah satu wujud tingkah laku (verbal) manusia. Teks yang dihasilkan manusia selalu dilatarbelakangi oleh dua konteks, yaitu konteks budaya dan konteks situasi.

Dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia, pemanfaatan bahasa dan budaya daerah dalakukan secara hierarkhies. Hal tersebut sangat dimungkinkan, karena dalam realitasnya kondisi peserta didik tidak selalu dalam kondisi yang heterogen untuk menyatakan tidak selalu dalam konteks keragaman budaya, dan bisa jadi homogen dilihat dari sisi latar budaya. Konteks budaya sekolah di desa memang berbeda dengan sekolah di kota, dan konteks kebudayaan sekolah di kota cenderung heterogen karena demografi kota juga cenderung heterogen. Bagaimana hierarkhi pelibatan budaya daerah dalam pembelajaran bahasa Indonesia ditampakkan pada rumusan kompetensi dasar (KD) jenjang SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA. Sekedar contoh, berikut disajikan masing-masing satu kutipan rumusan KD setiap jenjang: (1) Menerima anugerah Tuhan Yang Maha Esa berupa bahasa Indonesia yang dikenal sebagai bahasa persatuan dan sarana belajar di tengah keragaman bahasa daerah (Kemendikbud. 2013a); (2) Menghargai dan mensyukuri keberadaan bahasa Indonesia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk mempersatukan bangsa Indonesia di tengah keberagaman bahasa dan budaya (Kemendikbud. 2013b); (3) Mensyukuri keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan alat pemersatu bangsa dengan menggunakannya sebagai alat komunikasi dalam segala bidang kehidupan secara baik dan benar (Kemendikbud. 2013c).

Bila dipandang perpikir atau bernalar sebagai bagian dari kebudayaan, para praktisi pendidikan mesti paham benar bahwa setiap jenis teks memiliki alur berpikir yang khas. Alur berpikir dalam teks narasi tentulah berbeda dengan teks argumentasi atau teks prosedural. Teks narasi akan terkait dengan pengembangan berpikir akan adanya peristiwa/kejadian, urutan peristiwa (kronologi), hubungan kausalitas antarperistiwa, dan alur. Sebaliknya, teks argumentasi akan berhubungan dengan pengembangan berpikir bagaimana memberikan rasional dan dukungan fakta, teori, atau pendapat orang untuk meyakinkan orang lain; sedangkan teks prosedural terkait dengan pengembangan berpikir akan adanya suatu urutan atau prosedur untuk melakukan kegiatan, memproses atau memproduksi sesuatu, serta merasionalkan mengapa mesti demikian.

Pengajar bahasa secara sadar sudah selayaknya setiap proses pembelajaran jenis teks memfokuskan pada pemahaman adanya proses berpikir tertentu. Tahap pengamatan teks, menanya, mengidentifikasi teks, dan sebagainya diarahkan pada penguasaan pengetahuan tentang teks. Selanjutnya, peserta didik diarahkan untuk mempraktikkannya guna mencapai keterampilan yang memadai dalam memproduksi teks. Keasadaran bahwa setiap jenis teks memiliki cara berpikir yang khas menjadi bagian tidak terpisahkan untuk mengembangkan sikap disiplin dalam memproduksi teks.