DAMPAK GLOBALISASI TERHADAP PENDIDIKAN
Dampak Globalisasi Terhadap Pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia (Edison A. Jamli, 2005). Proses globalisasi berlangsung melalui dua dimensi, yaitu dimensi ruang dan waktu. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, dan terutama pada bidang pendidikan. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, teknologi informasi dan komunikasi berkembang pesat dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia. Oleh karena itu globalisasi tidak dapat dihindari kehadirannya, terutama dalam bidang pendidikan.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disertai dengan semakin kencangnya arus globalisasi dunia membawa dampak tersendiri bagi dunia pendidikan. Banyak sekolah di indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini mulai melakukan globalisasi dalam sistem pendidikan internal sekolah. Hal ini terlihat pada sekolah – sekolah yang dikenal dengan billingual school, dengan diterapkannya bahasa asing seperti bahasa Inggris dan bahasa Mandarin sebagai mata ajar wajib sekolah. Selain itu berbagai jenjang pendidikan mulai dari sekolah menengah hingga perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang membuka program kelas internasional. Globalisasi pendidikan dilakukan untuk menjawab kebutuhan pasar akan tenaga kerja berkualitas yang semakin ketat. Dengan globalisasi pendidikan diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat bersaing di pasar dunia. Apalagi dengan akan diterapkannya perdagangan bebas, misalnya dalam lingkup negara-negara ASEAN, mau tidak mau dunia pendidikan di Indonesia harus menghasilkan lulusan yang siap kerja agar tidak menjadi “budak” di negeri sendiri.
Persaingan untuk menciptakan negara yang kuat terutama di bidang ekonomi, sehingga dapat masuk dalam jajaran raksasa ekonomi dunia tentu saja sangat membutuhkan kombinasi antara kemampuan otak yang mumpuni disertai dengan keterampilan daya cipta yang tinggi. Salah satu kuncinya adalah globalisasi pendidikan yang dipadukan dengan kekayaan budaya bangsa Indonesia. Selain itu hendaknya peningkatan kualitas pendidikan hendaknya selaras dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Tidak dapat kita pungkiri bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Dalam hal ini, untuk dapat menikmati pendidikan dengan kualitas yang baik tadi tentu saja memerlukan biaya yang cukup besar. Tentu saja hal ini menjadi salah satu penyebab globalisasi pendidikan belum dirasakan oleh semua kalangan masyarakat. Sebagai contoh untuk dapat menikmati program kelas Internasional di perguruan tinggi terkemuka di tanah air diperlukan dana lebih dari 50 juta. Alhasil hal tersebut hanya dapat dinikmati golongan kelas atas yang mapan. Dengan kata lain yang maju semakin maju, dan golongan yang terpinggirkan akan semakin terpinggirkan dan tenggelam dalam arus globalisasi yang semakin kencang yang dapat menyeret mereka dalam jurang kemiskinan. Masyarakat kelas atas menyekolahkan anaknya di sekolah – sekolah mewah di saat masyarakat golongan ekonomi lemah harus bersusah payah bahkan untuk sekedar menyekolahkan anak mereka di sekolah biasa. Ketimpangan ini dapat memicu kecemburuan yang berpotensi menjadi konflik sosial. Peningkatan kualitas pendidikan yang sudah tercapai akan sia-sia jika gejolak sosial dalam masyarakat akibat ketimpangan karena kemiskinan dan ketidakadilan tidak diredam dari sekarang.
1.2 Rumusan Masalah
Secara umum, rumusan masalah pada makalah “Dampak Globalisasi Terhadap Pendidikan” ini dapat dirumuskan seperti pada pertanyaan berikut.
a. Apa dampak dari globalisasi untuk dunia pendidikan?
b. Penyebab buruknya pendidikan di era globalisasi?
c. Cara penyesuan pendidikan di Indonesia pada era globalisasi?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Bagi Penulis
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas yang diberikan guru dalam mata pelajaran bahasa indonesia. Selain itu, bagi diri kami pribadi makalah ini juga diharapkan bisa digunakan untuk menambah pengetahuan yang lebih bagi siswa, baik dalam lingkup SMPN 3 KRAMATWATU maupun di sekolah-sekolah yang lain.
1.3.2 Bagi Pembaca
Makalah ini dimaksudkan untuk membahas dampak globalisasi terhadap dunia pendidikan dan menambah ilmu pengetahuan mengenai globalisasi. Para pembaca yang dominan dari kaula mahasiswa bisa digunakan untuk langkah menuju ke pengetahuan yang lebih luas, sehingga kedepannya tercipta sdm-sdm yang unggul.
1.3.3 Bagi Masyarakat
Diharapkan masyarakat bisa lebih memahami tentang arti penting globalisasi sehingga dampak bisa negative yang berimbas bisa leih diperkecil. Dan juga diharapkan agar realisasi kegiatan positif terhadap adanya pendidikan semakin lebih baik.
1.4 Metode
Penelitian
Metode yang digunakan dalam Penelitan ini adalah sebagai berikut.
1.4.1 Menggunakan
angket yang disebarkan kepada 38 orang siswa SMP tentang DAMPAK GLOBALISASI
TERHADAP PENDIDIKAN yang terdapat pada lingkungan sekolah SMPN 3 KRAMATWATU.
1.4.2 Mengamati
terhadap beberapa sekolah yang ada disekitar wilayah serang.
Eksistensi Bahasa Indonesia Dalam Pendidikan
Berbasis Keragaman Budaya
Eksistensi Bahasa Indonesia Dalam Pendidikan Berbasis Keragaman
Budaya
Ketika saya dikontak oleh panitia untuk berbicara tentang peranan
bahasa Indonesia dalam pendidikan berbasis keragaman budaya (seingat saya), dan
dikuatkan dengan informasi tertulis bahwa seminar bertajuk ”Pendidikan Berbasis
Keragaman Budaya: Sumbangan Bahasadan Sastra Indonesia”, pikiran saya lalu
teringat pada bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013. Terdapat pro dan kontra
terkait dengan pembelajaran bahasa Indonesia dengan diberlakukannya Kurikulum
13. Hal itu ditunjukkan adanya polemik yang muncul di media dan itu semua
sebenarnya bermanfaat bagi pengembangan kurikulum itu sendiri. Sekedar contoh,
dapat dibaca ulang tulisan Bambang Kaswanti Purwa yang berjudul ”Kurikulum
Bahasa Indonesia (Kompas, 20 Maret 2013), Mahsun yang berjudul ”Pembelajaran
Teks dalam Kurikulum 13” (Media Indonesia, 17 April 2013). Di sisi yang lain
saya juga teringat pada kondisi kebahasaan dan budaya di Indonesia yang
menunjukkan adanya keanekaragaman yang luar biasa.
Dari pemikiran tersebut selanjutnya muncul berbagai pertanyaan.
Pertanyaan yang muncul antara lain: (1) sebenarnya dalam kondisi masyarakat
Indonesia dengan wilayah yang begitu luas, dengan penduduk yang memiliki
berbagai macam latar bahasa daerah, suku, dan kebudayaan, apa peran atau fungsi
kehadiran bahasa Indonesia?
Bagaimana kedudukan dan fungsi bahasa-bahasa yang ada tersebut
(bahasa Indonesia dan bahasa daerah)? (2) Setelah pertanyaan tersebut terjawab,
pertanyaan berikutnya adalah bagaimana upaya yang dilakukan agar peran atau
fungsi tersebut dalam taraf praksis dapat menjadi kenyataan? Bila salah satu
respon atas pertanyaan kedua itu adalah ancangan pemerolehan bahasa atau
pembelajaran bahasa, pertanyaan yang akan munculbagaimana rumusan tujuan, materi,
metode, dan sebagainya? Dengan rasional yang demikian,akhirnya saya menulis
judul artikel ini.
Sebelum berbicara lebih jauh, kiranya diperlukan pijakan bersama
tentang pendidikan berbasis keragama budaya. Keragaman budaya sebagai basis
pendidikan mengacu pada pendidikan multikultural yang pada mulanya merupakan
kebijakan sosial dengan prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa
hormat antara kelompok sosial budaya di dalam masyarakat yang majemuk. Oleh
karenanya secara sederhana sering dinyatakan bahwqa pendidikan ini mengacu pada
adanya pengakuan adanya plurasisme budaya. Target pendidikan ini adalah agar
masyarakat multicultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan yang
demokratis (Banks, 1993).
Pendidikan multicultural sebagai proses penanaman cara hidup
menghormati, tulus, dan toleran terhadap keberagaman budaya yang hidup di
tengah-tengah masyarakat yang majemuk. Peserta didik diarahkan pada pemahaman,
pengakuan, akan adanya kesetaraan budaya. Oleh karenanya pendidikan multicultural
sering dianggap sebagai pengejawantahan dari ideologi kesetaraan budaya.
Pendidikan berbasis keragaman budaya pada kesempatan lain sering
disebut pendidikan multikultural, multibudaya, bahkan ada yang menyebut
interkultural meski yang terakhir ini agak berbeda konsepnya (lihat Tilaar,
200). Race (2011) menyatakan bahwa pendidikan multikultural yang terjadi di
Inggris (perlu diingat pahwa pendidikan multikultural berkembang lebih dulu di
Amerika) di arahkan pada terjadinya asimilasi dan integrasi. Ia membagi menjadi
lima dimensi multikulturalisme yang meliputi isi/tema integrasi (content of
integration), membangun pengetahuan (knowledge construction), Pendidikan
berkeadilan (equity pedagogy), penghilangan kecurigaan (prejudice reduction),
dan pemberdayaan kultur sekolah dan struktur sosial (empowering school culture
and social structure).
Secara ideal pendidikan multikultural mememberikan kesempatan
kepada semua siswa dapat mengakses pengalaman belajar inklusif. Dalam hal
pendidikan di Indonesia khususnya bidang bahasa kegiatan pembelajaran berbahasa
harus memberikan kesempatan siswa agar mahir dalam berbahasa Indonesia dan
bahasa lain, memiliki pengetahuan dan kesadaran yang mendalam tentang dirinya
dan budaya lain, memahami hakikat multikultural, memahami dan terampil untuk
berinteraksi pada setting lintas budaya, memiliki apresiasi pentingnya dari
lokal, nasional, internasional saling bergantung dalam lingkungan sosial, dan
memahami bahwa saling mendukung dalam hal ini seba-gai hal yang vital untuk membangungun
harmoni lokal dan global.
Sekolah mengakomodasi dalam semua aspek kehidupan sekolah:
mengenalkan perbedaan sebagai penga-laman belajar yang positif, slaing
berhubungan secara interkultural, guru dan sisiwa membangun pemahaman
interkultural dan keterampilan komunikasi lintas budaya sehinggga terbangun
kesatuan melalui perbedaan (unity through diversity) (cf. Race, 2011)
Hal di atas perlu ditekankan, karena dalam realitasnya bangsa
Indonesia terdiri atas banyak etnis dengan berbagai ragam bahasa dan
kebudayaan. Kondisi yang demikian merupakan keniscayaan bagi Indonesia dan ini
telah disadari betul oleh bangsa Indonesia dengan semboyannya “Bhineka tunggal
ika”. Namun demikian, mungkin sekali belum disadari oleh sebagian anak bangsa
Indonesia bahwa keanekaragaman tersebut berimplikasi pada pentingnya pemahaman
aneka latar sehingga dapat saling
menghargai dan saling memahami (lihat Kedaulatan Rakyat, 17
September 2006). Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Mochtar Pabottinggi (lewat
Soemanto, 2006) bahwa negara adalah kesatuan politis, sedangkan bangsa adalah
kesatuan sosiologis. Kesatuan bangsa terus-menerus menjadi masalah yang
penyebab utamanya adalah bangsa multietnik. Keniscayaan yang diidealkan adalah
adanya kesiapan bangsa Indonesia itu sendiri untuk hidup berbangsa dalam multi
etnik. Hidup berbangsa dalam multietnik harus mempunyai kesiapan hidup dengan
ras-ras lain, pandangan hidup lain, penghayatan iman yang tidak sama, harus
pula belajar hidup dengan orang yang memiliki kepentingan sang tidak sama
(Soemanto, 2006).
Diskusi tentang hubungan bahasa dan kebudayaan perlu mendapatkan
porsi tersendiri dalam mletakkan posisi bahasaa dalam kaitannya dengan
pendidikan berbasis keragaman budaya. Telah banyak ahli bahasa yang
membicarakan kaitan bahasa dan kebudayaan, dan ada pula yang mengaitkan bahasa,
kebudayaan, dan pikiran. Topik kaitan antara bahasa dan kebudayaan dapat
dilihat pada tulisan para ahli bahasa, seperti Steinberg (1982), Samsuri
(1985), Alwasilah (1985), Hakuta (1986), Trugill (1987), Yule (1990), Hudson
(1991). Struktur otak manusia memang berbeda dengan struktur otak makhluk yang
lain. Otak manusia dapat digunakan untuk berpikir, dan sarana untuk berpikir
salah satunya berupa bahasa. Dengan bahasa, manusia melakukan kegiatan
berpikir.Dapat dibayangkan ketika orang berpikir atau merenung tanpa bahasa apa
yang terjadi. Oleh karena itu, dapat dimaklumi adanya pendapat bahwa keunikan
manusia sebenarnya tidak terletak pada kemampuan beripikir melainkan terletak
pada kemampuan berbahasa. Tentu saja tanpa kemampuan berbahasa manusia tidak
akan dapat berpikir secara sistematis dan teratur. Ernest Cassirer menyebut
manusia sebagai homo symbolicum ’makhluk yang menggunakan simbol’ yang
cakupannya lebih luas daripada homo sapiens ’makhluk berpikir’.
Kebudayaan yang dalam beberapa sumber dipandang hasil
cipta, rasa, dan karsa masyarakat, yang dalam perkembanganny termasuk
proses/kegiatan berolah cipta, rasa, dan karsa yang berarti pula melibatkan
pikiran atau akal budi) secara garis besar dapat dibedakan menjadi kebudayaan
material dan kebudayaan spiritual (Soemardjan dan Soemardi, 1964: 113; Samsuri,
1985: 8). Melalui kemampuan ciptanya manusia memanfaatkan kemampuan mental dan
berpikir sehingga menghasilkan pengetahuan.
Melalui kemampuan rasanya manusia menciptakan norma dan nilai
kemasyarakatan demi kemaslakatan masyarakat itu sendiri. Melalui kemampuan
karsanya manusia menciptakan teknologi dan kebudayaan material. Sejalan dengan
batasan Tylor (Tilaar, 2000) kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang
kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat,
serta kemampuan berpikir dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat.
Representasi suatu bahasa pada hakikatnya berupa kegiatan
pemakaian bahasa itu sendiri oleh komunitasnya dalam berbagai keperluan. Nilai
bahasa terletak pada makna yang disimbolkan oleh suatu bahasa. Bahasa boleh
oleh sebagaian besar ahli dipandang sebagai wujud kebudayaan, dan di sisi lain
bahasa sebagai wahana kebudayaan. Bahkan, bahasa dipersepsi sebagai simbol
kebudayaan. Hal itu tampak pada kenyataan bahwa bahasa Inggris dianggap sebagai
simbol modernisme dan teknologi, bahasa Arab sebagai simbol agama Islam
(Alwasilah, 2003). Oleh karenanya dapat diakui bila vitalitas bahasa terletak
pada kemampuan bahasa itu berfungsi sebagai simbol kebudayaan.
Dari ilustrasi singkat tersebut dapat dikuatkan adanya kaitan
antara bahasa dan kebudayaan. Bahasa sebagai bagian budaya dan sebagai wahana
kebudayaan. Dari bahasa yang digunakannya seseorang dapat ditebak
kebudayaannya, nilai yang dianutnya, atau keyakinan agama yang dianutnya. Dari
bahasanya pula seseorang dapat diketahui sopan santunnya, sikap terbuka
tidaknya, jalan pikirannya, bahkan kejujurannya (Kawulusan, 1998: 1). Dengan
gambaran yang demikian itu, dapat dimaklumi adanya pernyataan bahwa “bahasa
menunjukkan bangsa” (Kawulusan, 1998: 1; Samsuri, 1985).
Bagaimana arah hubungan bahasa dan kebudayaan, setidaknya
terdapat dua kutub pandangan yang telah muncul. Pertama, pandangan yang sering
disebut dengan hipotesis Worf - Sapir yang pada intinya menyatakan bahwa bahasa
memengaruhi kebudayaan (Wardhaugh, 1992; Chair, 1994, Yule, 1990). Dalam konsep
ini bahasa dipandang memengaruhi pikiran komunitas pemakainya, dan disebutnya
dengan ”language determines thought”, yang sering pula disebut linguistic
determinism (Yule, 1990: 196). Bahasa merupakan dasar pikiran karena bahasa
memang merupakan wahana berpikir atau bernalar (Steinberg, 1982; Hakuta, 1986).
Oleh karena itu, penutur yang berbeda bahasa memiliki pola pikir yang berbeda
pula. Apa yang dilakukan masyarakat bahasa dipengaruhi oleh sifat bahasanya.
Kedua, pandangan yang bertolak belakang dengan hipotesis yang pertama, yang
perpandangan bahwa kebudayaan memengaruhi bahasa. Perilaku masyarakat saat
berbahasa dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat itu pula atau dengan
pernyataan lain bahasa merefleksikan budaya. Sistem budaya akan mengontrol
perilaku manusia melalui sistem kontyrol sosial dan sistem kepribadian (Parsons
dalam Mahsun, 2013). Secara tegas, Koentjaraningrat (1990) menyatakan bahwa
kebudayaan sangat menentukan wujud bahasa.
Uraian di atas terkesan adanya overlapingantara bahasa dan
kebudayaan. Hal itu terkait dengan bahasa sebagai bagian kebudayaan, hasil
budaya tetapi juga sebagai wahana budaya. Perilaku berbahasa merupakan
operasionalisasi sistem bahasa dan kebudayaan berkomunikasi dari suatu komunitas
bahasa. Bahasa dan kebudayaan sama sama memperngaruhi perilaku berbahasa.
Hubungan antara kebudayaan, bahasa, dan perilaku berbahasa dapat digambarkan
berikut ini (modifikasi model Hudson,1991: 84).
Gambar: Hubungan Kebudayaan, Bahasa, dan Perilaku Berbahasa
Gambar di atas menunjukkan bahwa bahasa merupakan bagian dari
kebudayaan, tetapi kebudayaan juga bagian dari bahasa. Bahasa dan kebudayaan
sama-sama memperngaruhi perilaku berbahasa atau sebaliknya. Bila diungkapkan
dengan cara lain gambar tersebut dapat dikatakan bahwa peristiwa berbahasa
selalu terkait dengan dua konteks, yaitu konteks bahasa dan konteks kebudayaan.
Konteks bahasa dalam hal ini mengarah pada konteks pertuturan atau konteks
situasi, yang dapat mencakup aspek identitas partisipan, waktu, dan tempat
peristiwa komunikasi, topik pertuturan, dan tujuan pertuturan (Levinson, 1985:
5; 276). Konteks yang kedua, merupakan konteks yang relatif umum yang berlaku
dalam masyarakat bahasa. Konteks kebudayaan mengisyaratkan bahwa setiap pemakai
bahasa dalam mengadakan interaksi sosial atau berbahasa selalu terpola oleh
kebudayaan yang dimilikinya.
Dalam suatu komunitas bahasa terdapat pranata berkomunikasi yang
sering disebut kaidah pragmatik, yang di dalamnya terdapat pragmalinguistik dan
sosiopragmatik. Pragmalinguistik terkait dengan kaidah bahasa yang berupa tata
bahasa sehingga ”urusannya” lebih menitikberatkan pada aspek linguistik
terutama yang terkait dengan persoalan fungsional komunikasi. Sosiopragmatik
terkait dengan permasalahan sosiologi sehingga inferensi pragmatik yang
dihasilkan pada hakikatnya merupakan inferensi sosiologis (Leech, 1983; lihat
Zamzani, 1999; 2007, 2008). Dengan pernyataan lain dapat dikatakan bahwa
peristiwa komunikasi dalam suatu komunitas selalu terkait dengan dua konteks,
yaitu konteks bahasa dan konteks kebudayaan.
Konteks bahasa dalam hal ini mengarah pada konteks pertuturan
atau konteks situasi, yang dapat mencakup aspek identitas partisipan, waktu dan
tempat peristiwa komunikasi, topik pertuturan, dan tujuan pertuturan (Levinson,
1985: 5; 276). Konteks kebudayaan merupakan konteks yang relatif umum yang
berlaku dalam masyarakat bahasa. Konteks kebudayaan ini mengisyaratkan bahwa
setiap komunitas pemakai bahasa dalam mengadakan interaksi sosial atau berkomunikasi
selalu terpola oleh
kebudayaan yang dimilikinya.
Bagaimana bahasa dapat berfungsi sebagai perekam ciri kebudayaan
diberikan oleh Adhitama (1998: 2-4). Ia memberikan contoh betapa banyak kata
ganti kekerabatan seperti glos ibu, bapak, adik, dan kakak, yang digunakan
tidak lagi sebagai kata yang menunjukkan hubungan kekerabatan, untuk menunjuk
orang yang tidak memiliki hubungan keluraga. Penggunaan yang seperti itu banyak
dijumpai di negara-negara Asia, dan tidak dijumpai di negara-negara Barat.
Dalam era globalisasi tidak berarti aspek kehidupan manusia baik
bidang ekonomi, politik, maupun kebudayaan akan secara otomatis menjadi
homogin. Justru pada era globalisasi tersebut kekhususan suatu bangsa semakin
tampak (atau ditampakkan?). Hal itu tampak dari adanya penegasan tentang
kemerdekaan, atau kedaulatan suatu bangsa. Salah satu kekhususan yang terdapat
pada identitas bangsa adalah bahasa, bahasa dijadikan jati diri bangsa. Jati
diri bangsa dapat menguat, dapat pula melemah (Naisbit dalam Muradi, 1998: 1).
Kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia Secara politis telah
jelas. Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional (bahasa persatuan)
tercantum dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dan sebagai bahasa negara
tercantum dalam UUD 1945, Bab XV, pasal 36, dan UU nomor 24 Tahun 2009. Kondisi
yang demikian boleh dibanggakan, karena negara yang begitu luas dan penduduk
yang terdiri atas berbagai etnis sejak kemerdekaanya telah memiliki satu bahasa
untuk menyelenggarakan negara.
Dalam kemerdekaannya itu, bangsa Indonesia bertekat untuk
membangun kebudayaan nasional, kebudayaan Indonesia melalui pembangunan bahasa
Indonesia (Lihat fungsi dan kedudkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara!).
Bahasa Indonesia sebagai alat integrasi bangsa (secara politis)
tampak jelas fungsinya dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, yaitu
lambang kebanggaan nasional, lambang identitas nasional, alat pemersatu bangsa,
dan alat perhubungan antarbudaya dan antardaerah. Telah diketahui bahwa wilayah
Indonesia begitu luas, yang terdiri atas ribuan pulau dengan penduduk yang
sangat majemuk, berlatar etnis, budaya, dan bahasa yang beraneka. Untuk
memberikan gambaran bagaimana kondisi kebahasaan Indonesia pada masyarakat
Indonesia.
Pemakai bahasa Indonesia pada tahun 90-an (hasil sensus BPS
1990, sekarang tentulah terjadi pergeseran) menunjukkan keadaan berikut ini.
Penduduk yang berusia lima tahun ke atas dapat dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu (1) penduduk yang mengaku memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa
sehari-hari sekitar 24 juta (15%), (2) penduduk yang mengaku dapat berbahasa
Indonesia, tetapi tidak memakainya sebagai bahasa sehari-hari sebanyak 107 juta
(68%), dan (3) penduduk yang belum memahami bahasa Indonesia 27 juta (17%)
(lihat Moeliono, 1998). Republika, tanggal 4 Maret 2014 memberitakan pernyataan
Kepala Balai Bahasa Yogyakarta bahwa di Indonesia terdapat 726 bahasa daerah,
yang berhasil dipetakan 456 bahasa daerah, yang memiliki penutur di atas 1 juta
13 bahasa. Pada Kongres Bahasa IX di Jakarta, Dendy Sugondo menyatakan terdapat
746 bahasa daerah, dan pulau di Indonesia ada 17508, yang telah bernama 7870,
suku bangsa 1128. Data BPS 2010 menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat 1340
suku bangsa: Jw 41,7% (86.012 juta), Sunda 5,4% (31.765 juta) Melayu 3,4% (7.7
juta), Madura 3,3% (6,80 juta) Batak (3,0% (6.188 juta) dari jumlah keseluruhan
206 juta.
Kondisi itu ternyata sejalan dengan tingkat pendidikan usia
kerja, yaitu angkatan kerja usia sepuluh tahun ke atas yang berpendidikan SD
mencapai 78% (Moeliono, 1998). Hal itu menunjukkan bahwa untuk penduduk
Indonesia, semakin tinggi pendidikan seseorang semakin baik potensi seseorang
untuk dapat mengungkapkan dirinya lewat bahasa Indonesia dalam kehidupan
sehari-hari.
Keadaan tersebut tentu saja dipengaruhi oleh aspek lain, satu di
antaranya adalah adanya bahasa dan kebudayaan daerah. Mengapa demikian? Kiranya
dapat diyakini, bahwa penduduk yang termasuk ke dalam kelompok (2) dan (3),
atau tidak termasuk ke dalam kelompok (1) tersebut dalam kehidupan sehari-hari sebagian
besar menggunakan bahasa daerah. Hal itu ditunjukkan oleh sebaran penutur
bahasa di Indonesia yang ternyata penutur bahasa Indonesia hanya mencapai
15,19%, jauh di bawah penutur bahasa Jawa yang mencapai 38,08% dan hampir sama
dengan jumlah penutur bahasa Sunda yang mencapai 15,26%, bahasa daerah lainnya
memang kurang dari 5% (BPS 1990, melalui Mu’adz, 1998: 5). Selain itu, pada
saat melakukan komunikasi penutur bahasa Indonesia itu menggunakan tata nilai
kebudayaan penutur itu sendiri yang dominan warna kebudayaan daerahnya. Hal itu
didasarkan pada kenyataan bahwa kebudayaan Indonesia (nasional) diklaim sebagai
puncak kebudayaan daerah, yang tentulah belum tentu merupakan asimilasi atau
fusi dari sejumlah kebudayaan daerah, yang berbeda dengan kebudayaan Amerika
(lihat Alwasilah, 2003, Taylor dalam Reynolds, 1991; Paulston, 1992).
Bahasa Indonesia digunakan untuk berinteraksi antaretnis
tersebut yang tentu saja merupakan multibudaya juga. Pada saat berbahasa
Indonesia, masyarakat cenderung menggunakan norma atau tata nilai kebudayaan
daerah. Sebagai konsekuensinya, tidak jarang komunikasi tersebut kurang
harmonis, bahkan sampai pada taraf yang “menyakitkan”, yaitu salah paham. Agar
interaksi antaretnis dapat berlangsung secara harmonis diperlukan pemahaman
lintas budaya, yaitu lintas antarsubbudaya. Kebudayaan daerah dapat dipandang
sebagai subbudaya (Popenoe,1983: 5). Pemahaman lintas budaya itu setidaknya
berupa pemahaman sistem nilai, yang dapat mencakup antara lain santun
berkomunikasi suatu subbudaya, sterio tipe suatu subbudaya, tata makna kata
dalam subbudaya. Dalam perkembangannya, hubungan antara budaya Indonesia dengan
budaya daerah/lokal sebagai subbudaya tersebut ternyata menimbulkan pelemik
dalam kaitannya pengembangan bangsa ke depan.
Atas dasar hal tersebut akan dimungkinkan dalam kegiatan
berbahasa, orang Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia sebenarnya belum
menggunakan kebudayaan Indonesia, melainkan menggunakan kebudayaan “Indonesia”.
Kebudayaan “Indonesia” itu dapat berupa budaya daerah, atau asimilasi/fusi
antarbudaya daerah.
Dengan demikian, sesama orang Indonesia yang melakukan kegiatan
berwacana menggunakan bahasa Indonesia dimungkinkan saling berusaha
memprediksi, mengapresiasi, dan kemudian memahami kebudayaan yang digunakannya.
Misalnya, orang Jawa berbahasa Indonesia menggunakan tata nilai kebudayaan
Jawa, orang Sunda berbahasa Indonesia menggunakan kebudayaan Sunda, dan
seterusnya. Sebagai konsekuensinya, adanya muatan kebudayaan yang
bermacam-macam tersebut dapat menimbulkan terjadinya salah paham dalam
berkomunikasi. Bahkan, Kartomohardjo (1996) memberikan pernyataan bahwa
terdapat kecenderungan orang Jawa dipandang oleh orang Sunda sebagai tidak
tegas, plinplan, dan sebagainya berdasarkan perilaku berbahasanya, dan sebaliknya
orang Jawa cenderung menganggap orang Sunda terlalu kasar, berterus terang dan
sebagainya.
Sekarang marilah didiskusikan eksistensi pembelajaran bahasa
Indonesia. Tujuan pengajaran bahasa dirumuskan dalam rangka mencapai fungsi
suatu bahasa. Dengan mempertimbangkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia,
baik dalam kedudukan sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara
(lihat UU RI Nomor 24 tahun 2009), serta sastra Indonesia sebagai hasil cipta
intelektual dalam produk budaya, fungsi mata pelajaran bahasa (dan sastra
Indonesia), diarahkan sebagai (1) sarana pembinaan kesatuan dan persatuan
bangsa, (2) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka
pelestarian dan pengembangan budaya, (3) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan
untuk meraih dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, (4)
sarana penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia yang baik untuk berbagai
keperluan menyangkut berbagai masalah, (5) sarana pengembangan penalaran, dan
(6) sarana pemahaman beragam budaya Indonesia melalui khazanah kesusasatraan
Indonesia (Depdikbud, 1993/1994; Depdiknas, 2003; Depdiknas, 2006; lihat pula
Kemendikbud, 2013a; Kemendikbud, 2013b; Kemendikbud, 2013c).
Dari keenam butir fungsi mata pelajaran tersebut yang terkait
dengan permasalahan program atau fungsi pengembangan berpikir yang dalam hal
ini dinyatakan secara eksplisit dengan kata penalaran (butir 5). Meski
demikian, sebenarnya fungsi berpikir tidak dapat terlepaskan dengan butir (2),
(3), dan (6). Butir pertama terkait dengan membangun jiwa ke-Indonesiaan anak
bangsa Indonesia, dan butir (4) keterkaitannya dengan persoalan pengembangan
berpikir tampak kurang langsung, melainkan terimplisitkan pada fungsi
mengembangkan keterampilan penggunaan bahasa dalam berbagai keperluan
menyangkut berbagai masalah. Bila dicermati penggunaan bahasa dalam berbagai
berbagai keperluan dan berbagai masalah terkait dengan persoalan teks atau
genre( lihat Zamzani, 2013).
Tujuan pengajaran bahasa Indonesia (dalam beberapa sumber sering
digunakan pembelajaran bahasa) dapat ditemukan dalam berbagai dokumen.
Permendiknas 22 tahun 2006 tentang Standar Isi (bandingkan dengan rumusan
fungsi dan tujuan dalam Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia, Depdiknas, 2003 dan bandingkan dengan kompetensi inti dan kompetensi
dasar dalam Kemendikbud, 2013a; Kemendikbud, 2013b; dan Kemendikbud, 2013c)
menyatakan pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan
peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar,
baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil
karya kesastraan insan Indonesia. Hal ini sejalan dengan hakikat belajar bahasa
yang utama adalah belajar berkomunikasi, meski ada beberapa tujuan seseorang
belajar bahasa terkait dengan fungsi pendidikan, antara lain tujuan integratif,
instrumental, penalaran, dan kebudayaan. Pengajaran bahasa diarahkan pada
pemberian bantuan atau peluang agar peserta didik mampu mengenal dirinya,
budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan,
berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan
serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya.
Dengan arah tersebut pendidikan (baca pengajaran) bahasa
Indonesia dirumuskan menjadi enam butir tujuan, yaitu (1) berkomunikasi secara
efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun
tulis (formal dan informal), (2) menghargai dan bangga menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, dan (3) memahami bahasa
Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan,
(4) menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual,
serta kematangan emosional dan sosial, (5) menikmati dan memanfaatkan karya
sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan berbahasa, dan (6) menghargai dan membanggakan sastra
Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual insan Indonesia.
Apabila dicermati, di antara keenam butir tersebut terdapat tiga
butir (3, 4, dan 5) yang secara terstruktur dan terprogram diarahkan pada
pemosisian pengajaran bahasa dalam kaitannya dengan kegiatan berpikir
(intelektual dan emosional) peserta didik dengan menyatakan bahwa pendidikan
bahasa Indonesia diarahkan untuk (1) memahami bahasa Indonesia dan
menggunakannya dengan tepat dan kreatif, (2) meningkatkan kemampuan
intelektual, kematangan emosional, dan (3) memperluas wawasan. Hal tersebut
perlu disadari dan dihayati secara sungguh-sungguh oleh para pemangku
kepentingan karena bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan
intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang
keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Tanapa terkecuali, semuanya
selalu terkait dengan nilai-nilai budaya. Perlu disadari pula bahwa kompetensi
berbahasa yang memadai pada hakikatnya dapat dijadikan sebagai “modal” dasar
bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional,
nasional, dan global.
Posisi bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan budaya dan bahasa
daerah telah dipertimbangkan secara jelas. Hal tersebut ditampakkan pada
rumusan kompetensi dasar sebagai bentuk operasionalisasi pencapaian kompetensi
inti melalui pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia. Pembelajaran bahasa
Indonesia yang sering disebut berbasis teks (lihat Mahsun, 2013). Pada
prinsipnya pembelajaran bahasa berbasis teks dan olehnya teks dapat dipandang
sebagai salah satu wujud tingkah laku (verbal) manusia. Teks yang dihasilkan
manusia selalu dilatarbelakangi oleh dua konteks, yaitu konteks budaya dan
konteks situasi.
Dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia, pemanfaatan
bahasa dan budaya daerah dalakukan secara hierarkhies. Hal tersebut sangat
dimungkinkan, karena dalam realitasnya kondisi peserta didik tidak selalu dalam
kondisi yang heterogen untuk menyatakan tidak selalu dalam konteks keragaman
budaya, dan bisa jadi homogen dilihat dari sisi latar budaya. Konteks budaya
sekolah di desa memang berbeda dengan sekolah di kota, dan konteks kebudayaan
sekolah di kota cenderung heterogen karena demografi kota juga cenderung
heterogen. Bagaimana hierarkhi pelibatan budaya daerah dalam pembelajaran
bahasa Indonesia ditampakkan pada rumusan kompetensi dasar (KD) jenjang SD/MI,
SMP/MTs dan SMA/MA. Sekedar contoh, berikut disajikan masing-masing satu
kutipan rumusan KD setiap jenjang: (1) Menerima anugerah Tuhan Yang Maha Esa
berupa bahasa Indonesia yang dikenal sebagai bahasa persatuan dan sarana
belajar di tengah keragaman bahasa daerah (Kemendikbud. 2013a); (2) Menghargai
dan mensyukuri keberadaan bahasa Indonesia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa
untuk mempersatukan bangsa Indonesia di tengah keberagaman bahasa dan budaya
(Kemendikbud. 2013b); (3) Mensyukuri keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa
negara dan alat pemersatu bangsa dengan menggunakannya sebagai alat komunikasi
dalam segala bidang kehidupan secara baik dan benar (Kemendikbud. 2013c).
Bila dipandang perpikir atau bernalar sebagai bagian dari
kebudayaan, para praktisi pendidikan mesti paham benar bahwa setiap jenis teks
memiliki alur berpikir yang khas. Alur berpikir dalam teks narasi tentulah
berbeda dengan teks argumentasi atau teks prosedural. Teks narasi akan terkait
dengan pengembangan berpikir akan adanya peristiwa/kejadian, urutan peristiwa
(kronologi), hubungan kausalitas antarperistiwa, dan alur. Sebaliknya, teks
argumentasi akan berhubungan dengan pengembangan berpikir bagaimana memberikan
rasional dan dukungan fakta, teori, atau pendapat orang untuk meyakinkan orang
lain; sedangkan teks prosedural terkait dengan pengembangan berpikir akan
adanya suatu urutan atau prosedur untuk melakukan kegiatan, memproses atau
memproduksi sesuatu, serta merasionalkan mengapa mesti demikian.
Pengajar bahasa secara sadar sudah selayaknya setiap proses
pembelajaran jenis teks memfokuskan pada pemahaman adanya proses berpikir
tertentu. Tahap pengamatan teks, menanya, mengidentifikasi teks, dan sebagainya
diarahkan pada penguasaan pengetahuan tentang teks. Selanjutnya, peserta didik
diarahkan untuk mempraktikkannya guna mencapai keterampilan yang memadai dalam
memproduksi teks. Keasadaran bahwa setiap jenis teks memiliki cara berpikir
yang khas menjadi bagian tidak terpisahkan untuk mengembangkan sikap disiplin
dalam memproduksi teks.