Masuknya
agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui
dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi
denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan
Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan
keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: “Yupa itu didirikan untuk
memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman”. Keterangan yang lain
menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk
memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan “Vaprakeswara”.
Masuknya
agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya
berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam
kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan
juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di
Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad
ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun,
Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti
tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.
Dari
prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa “Raja
Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang
gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu”
Bukti
lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang
menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja
Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman
adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari
Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah,
yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu. Prasasti ini
berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti
Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu
Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari
tahun 650 Masehi.
Pernyataan
lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan
memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada
tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi: “Sruti indriya
rasa”, Isinya memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa
Brahma sebagai Tri Murti.
Adanya
kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo
dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti
yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan
Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa
Timur, yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota
Malang berbahasa sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang
pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun 760
Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar, para pendeta
dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan.
Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai
peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.
Kemudian
pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar
Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai
pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa.
Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun
1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia.
Setelah
dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222),
sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya
sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka,
Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun
1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi
Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan kehinduan pada jaman
kerajaan Singosari.
Pada
akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit,
sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit
merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat
dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu
terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku Negarakertagama.
Selanjutnya
agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali
diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti,
juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini
bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.
Menurut
uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu
di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa
pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya
sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan
melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan
sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya
pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa
beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.
Perkembangan
agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada ke Bali (tahun 1343)
sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan
ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai
jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada
abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur.
Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti
Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).
Perkembangan
selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan
keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan
muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923
di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa
Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun
1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra
Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah
Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu
berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang
menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan
umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha
Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali
dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya
menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Sumber : 1. http://kmhd.lk.ipb.ac.id/2010/11/06/sejarah-agama-hindu-di-indonesia/
2. Buku Mari Belajar IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) untuk SMP/MTS kelas VII
2. Buku Mari Belajar IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) untuk SMP/MTS kelas VII
Tidak ada komentar:
Posting Komentar